Pages

Kamis, 29 Oktober 2009

Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 3

Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan
semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam
kesempatan mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial
didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."

Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih
prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang
berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar
mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial
semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.

Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan
akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain,
bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan
sosial.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

"Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman,
sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian
kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
sejahtera.

Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang
didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam
dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan
tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum
Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih
dahulu ditempatkan di surga.

Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa,
sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta
kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang
mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan.

Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan
Allah kepada Adam:

Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak
akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa
dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang
diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya
kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan
sosial.

Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga
hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu
dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada
pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia:

Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan
sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi
ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah
[56]: 25 dan 26).

Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman
(Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).

Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha
sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.

Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS
Al-Baqarah [2]: 38).

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial
yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.

Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan,
kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak
keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:

Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar
bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya
merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan
Islam.1

DARI MANAKAH MEMULAINYA?

Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri
pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir
masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi
Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang:
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan
lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk
keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya
terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.

Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan
merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split
personality):

Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik
penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya?
Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).

Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan
Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah
pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu
Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal
mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran
bahwa:

Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu,
dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas)
terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS
Al-Hadid [57]: 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan
yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum
diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi
kepentingan orang banyak.

Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka
berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan
hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian
secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik
dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini
mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.

Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil
usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat
yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa
adalah,

Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3)

Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka
tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa
aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (QS Al-Nisa' [4]: 9).

Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota
masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik
antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap
pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap
kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah
keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi
kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk
penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup
seluruh aspek kehidupan.

Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak
mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak
mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya
iman (Diriwayatkan oleh Muslim).

Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan,
bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau
pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan
ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa
senasib dan sepenanggungan, di antaranya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka
itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS
Al-Ma'un [107]: 1-3)

Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan
"tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerrninkan
kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal
harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak
dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang
mendustakan agama dan hari pembalasan.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang
berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan
untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah
monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada
tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan
kelapangan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka
lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk
kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11).

Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan
kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara
tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka
buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya.
Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat
menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang
mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan
batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).

Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang
datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw.
tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan
perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah
laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik
daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang
menyakitkan.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang
beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan
antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah
[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar
kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan
bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang
membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

***

Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan
kesejahteraan.

Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding
dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun,
prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya --melalui
tulisan singkat ini-- telah dapat tercerminkan. []

Catatan kaki:

1 Sayyid Quthb, Dirasat Islamiyah,
Al-Ma'arif, Kairo, 1967, hlm. 63

Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 2

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum Islam bermazhab Maliki,
tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata taqshithu
pada firman Allah di atas dalam arti berlaku adil. "Berlaku
adil", tulisnya, "adalah wajib terhadap orang-orang kafir
(baik yang memerangi maupun yang tidak)." Kata taqsithu di
sini menurutnya adalah "memberi bagian dari harta guna
menjalin hubungan baik".

Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap
siapa pun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas. Salah
satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur yang
adil) dengan "besi" yang antara lain digunakan sebagai
senjata. Ini untuk memberi isyarat bahwa kekerasan adalah
salah satu cara untuk menegakkan keadilan.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca
keadilan), dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya besi itu digunakan). Allah mengetahui
siapa yang menolong (memperguangkan nilai-nilai)
agama-Nya dan membantu rasul-rasul-Nya, walaupun Allah
gaib dari pandangan mata mereka [QS Al-Hadid [57]:
25).

Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah
ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah
satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi
(ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang,
sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat
[49]: 9)

Lanjutan ayat ini perlu mendapat perhatian, yakni:

Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah
kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)

Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada
lanjutan ayat ini dengan "keharusan berlaku adil". Karena
walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak awal
proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan untuk
para juru damai setelah mereka terlibat menindak tegas
kelompok pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun
mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga diri
akibat ulah para pembangkang. Kerugian tersebut dapat
mendorongnya untuk berlaku tidak adil, karena itu ayat ini
menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil.

Begitu luas pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang
merasa sempit dari keadilan, pasti akan merasakan bahwa
ketidakadilan jauh lebih sempit.

KEADILAN ILAHI

Pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru.
Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik dan buruk
Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada
penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan
si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam
bencana? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.

Tetapi tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan
ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah
satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan
semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan
Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di
balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai
ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam
ini jelas tidak memuaskan nalar.

Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan:
Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti
ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut
monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada
penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya (QS
Al-An'am [6]: 1)

Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan
atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya
terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial.
Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,

Dialah yang membuat segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]: 7).

Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan
segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan
adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu
sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya
demikian.

Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik
bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu
padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu
tidak mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika
seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya
buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan
menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan
kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi
lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi,
bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru
menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya
melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam,
tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang
mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan
memujinya? Karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah
secara mikro. Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara
makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu.

Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada
kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau
ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?

Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,

"Manusia itu adalah untuk umat yang satu" (QS
Al-Baqarah [2]: 213)

Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu
juga. Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab
(pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada Tuhanmulah mereka
dihimpunkan (QS Al-An'am [6]: 38).

Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak,
bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan
untuk itu ada di antara mereka yang menjadi "korban" demi
kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu
merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.
Korban (yang mengalami "keburukan") harus ada, demi mewujudnya
kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui
arti berani, jika tidak ada bahaya? Bagaimana mereka
mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak merasakan sakit? Apa
artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapakah
yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga?

Apabila penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka
setimpallah akibat dengan ulahnya. Sedangkan apabila tidak
bersalah, maka pengorbanan manusia akan beroleh ganjaran di
sisi Allah, yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat di
akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157).

Patut dicatat bahwa Allah memberikan potensi kepada manusia
untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya, begitu kata
pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran.

Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk
kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11).

Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai dan
memahami tujuan keberadaannya.

Anda boleh bertanya, "Mengapa kerja sama itu harus ada?
Bukankah Allah Mahamutlak kesempurnaan dan kekuasaanNya,
sehingga Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun
tanpa kerja sama?"

Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena

Bagi Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A'raf
[7]: 180).

Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah nalar
Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki
kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya? Jika itu yang
diinginkan, akan terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan
saja dari segi redaksional kata "mutlak" (kemutlakan
mengandung arti kesendirian), melainkan juga mustahil dari
sisi keyakinan "keesaan-Nya", serta bertentangan pula dengan
firman-Nya,

Tiada yang serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11).

Yakni, jangankan yang sama dengan-Nya, yang serupa dengan
serupa-Nya pun tiada.

Adalah logis bahwa Pencipta harus berbeda dengan yang
diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan sang
pencipta. Kekurangan dan ketidaksempurnaan itu mencakup apa
yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa bahwa
yang dinamakan dan dikeluhkan manusia itu tidak mencakup
seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan hanya
diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan
yang diderita seseorang dapat menjadi nikmat bagi dirinya
sendiri di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain.
Harus diingat juga bahwa terdapat banyak makhluk Allah dan
sebagian besar tidak diketahui manusia, sebab seperti
firman-Nya,

Dia menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS
Al-Nahl [16]: 8).

Konon pengetahuan manusia baru dapat menjangkau sekitar 3%
dari seluruh alam raya ini.

Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan
manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena
ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud
dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui
ciptaan-Nya?

Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini
adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut
pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan
ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik
daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan
dan kejahatan?"

Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta
dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak
mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu
terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai
kesempurnaan" (seperti makna keadilan Ilahi yang dikemukakan
sebelum ini), jauh lebih baik.

Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan
problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari
keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk
diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak
lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya
adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat
besar.

KEADILAN SOSIAL

Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan
bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Berbuat baik melebihi keadilan --seperti memaafkan yang
bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas-- akan dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan
seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90),
karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi
keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih
utama daripada kedermawanan atau ihsan.

Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari
perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan
perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal
yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya
jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan
pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan
bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang.
Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw. menolak memberikan maaf
kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau
pemilik harta telah memaafkannya.

Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia
menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi Saw. Beliau
memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan
memaafkan, maka Nabi Saw. bersabda.

"Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya
kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan
An-Nasa'i).

Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan
bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian
ketetapan Ilahi.

Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya, sedangkan yang memben manfaat bagi
manusia itulah yang tetap bertahan di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS
Al-Raid [13]: 17).

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan
kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253).
Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh
mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus
mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak.
Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat
(49): 13.

Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu
dinyatakan:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan di antara mereka (melalui
sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling
menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan
masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat
(berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]:
148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah". Di sini
hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang
berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba
dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi,
tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang
berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama
menolak hal ini.

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak
berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang
berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk
(tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan
baik... (QS Al-Nisa' [4]: 95).

Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).

----------------
Bersambung 3/3

Keadilan dan Kesejahteraan


Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada
kesejahteraan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa
yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan?
Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8,

Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.

Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan
kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab
menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan
adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap
dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan
menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN

Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah
dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan
menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan
persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan
sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak
berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang
menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola
alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

----------------
Bersambung 2/2

Hari AKHIRAT - bagian 4

HARI AKHIRAT (4/4)
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Betapapun, pada akhirnya hanya ada dua tempat, surga atau
neraka. Pembahasan tentang surga dan neraka, kita tangguhkan
sampai dengan kesempatan lain. Ini disebabkan karena luasnya
jangkauan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakannya. Bukan saja
uraian tentang aneka kenikmatan dan siksanya, tetapi sampai
kepada rincian peristiwa-peristiwa yang digambarkan Al-Quran
menyangkut perorangan atau kelompok, dan lain sebagainya.

KAPAN HARI AKHIR TIBA?

Al-Quran -demikian juga hadis-hadis Nabi Saw.- yang berbicara
panjang lebar tentang hari akhir dari bermacam-macam aspek
itu, tidak membicarakan sedikit pun tentang masa
kedatangannya. Bahkan secara tegas dalam berbagai ayat serta
hadis dinyatakan bahwa tidak seorang pun mengetahui kapan
kehadirannya.

Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang
hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka)
dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah
dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya) (QS
Al-Nazi'at [79]: 42-44).

Sekian banyak ayat Al-Quran yang mengandung makna serupa,
demikian pula hadis-hadis Nabi Saw. menginformasikannya.

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa malaikat Jibril pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. -dalam rangka mengajar umat
Islam- "Kapan hari kiamat?" Nabi Saw. menjawab: "Tidaklah yang
ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang bertanya."
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi Umar bin
Khaththab).

Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa kedatangannya
tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51,

"Kapankah itu (hari kiamat)?"

Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi Saw. diperintahkan oleh
Allah untuk menjawab:

Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat."

Surat Al-Qamar (54): 1 juga menyatakan bahwa:

Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.

Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan:

Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat)
sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi
berpaling (darinya).

Nabi Saw. juga bersabda:

Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku
dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil
menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk
dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir
bin Abdillah).

Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan hari
akhirat dari segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak
dapat dipahami bahwa kedekatan itu hanya dalam arti besok,
seribu atau sepuluh ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh
jadi juga jika dibandingkan dengan umur dunia yang telah
berlalu sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis
dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan dalam
arti waktu.

Bila kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban
yang diperintahkan kepada Nabi Saw. untuk diucapkan adalah
"Boleh jadi ia dekat." Di sisi lain, ayat Al-Qamar dan
Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk kata kerja masa
lampau untuk satu peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi,
mengandung makna kepastian sehingga kedekatan dalam hal ini
dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang
akan datang adalah dekat, dan segala yang telah berlalu dan
tidak kembali adalah jauh."

Agaknya informasi Al-Quran tentang kedekatan ini, lebih
dimaksudkan untuk menjadikan manusia selalu siap menghadapi
kehadirannya. Karena itu pula, tidak satu atau dua ayat yang
menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti
misalnya firman berikut:

Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah
yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada
mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak
menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107).

Di sisi lain, ditemukan bahwa yang bertanya tentang waktu
kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman.

Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat,
meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan
orang-orang yang beriman merasa takut akan
kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar
(akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang
membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam
kesesatan yang jauh (QS Al-Syura [42]: 18).

Ketakutan tentang hari kiamat akan mengantarkan orang yang
percaya untuk berbuat sebanyak mungkin amal ibadah, sehingga
mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana.

BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN

Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari akhir
mengantar manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif
dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan
keuntungan materi dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat
yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun
berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu
menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim
datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih
itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.

Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan:

Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?

Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan
dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan.
Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti
mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir
ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Quran
bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka
konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan
surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.

Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap
mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin
karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak
menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya
sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya
akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini
bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan
sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan
perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang
percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak
menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?

Seseorang yarlg kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan
kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada
di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau
pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi
dalam arti hari kemudian.

Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib
di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat
tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji
Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang
memberi bantuan. Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini
janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala
sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya
semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan
bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak
menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya
untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan
keyakinannya itu.

"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda
daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan
sendiri."

Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini
mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama
kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari
akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah,
kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.

Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini,
berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana
terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak
memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau
membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana
tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam
pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi
sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka
pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:

Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan
agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini)
mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara
tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan
hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan
lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong
kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara
sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan
perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia
kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya
adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang
diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak
berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.

Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:

Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar
batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli
itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan
surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut
pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan
kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian
interaksi antarmanusia.

Demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan
tentang hari akhir.

Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang
sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa
berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof.
Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan
energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah
kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.

Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim
dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan
setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi
dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut
-apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang pokok
adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak
kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.

Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu
dan tempatnya, maka kesemua hal ini berada di luar tuntunan
agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof
dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh
kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan
kehangatan iman.

Wa Allahu 'Alam. []

Catatan kaki:

1 Ada tiga kemungkinan yang dapat tergambar dalam benak bagi
sesuatu. Pertama, mustahil wujudnya, misalnya tiga lebih
banyak dari lima. Kedua, mungkin (boleh jadi), misalnya Si A
kaya atau miskin, hidup atau mati. Dan ketiga, pasti wujudnya,
itulah Allah Swt., yang mustahil tergambar dalam benak kita
tentang ketiadaan-Nya.


Bagi teman yang ingin membaca Al-qur'an sila klik disini! dan jika ingin membaca Al-qur'an dan terjemahanya sila klik disini!

Pasang Iklan Gratiiisss

ads ads ads ads ads ads

Sudah siap Memulai Bisnis Internet ?

Bagi anda yang pengen dapat uang saku tambahan silakan coba yang satu ini, anda hanya di minta untuk mengklik iklan lalu anda dibayar.buruan daftar di donkeymails bawah ini DonkeyMails.com: No Minimum Payout

PUISI KU

Untaian Rindu Kurindu padaMu ... Kerinduanku ingin bisa lebih dekat denganMu Kuingin lebih merasakan kebersamaan denganMu Kuingin dihatiku Kau bersemayam Diatas segala-galanya Kapan aku bisa mencintaiMu Lebih dalam ... Dan jauh lebih tulus Aku benar-benar merindukanMu Rinduku yang tak berujung padaMu Rasa rindu yang mendalam Didalam hati Berilah percikan cintaMu didalam hati Hatiku haus akan cintaMu Dan begitu rindu akan diriMu

Ilmu Islam

  1. Ya ALLAH
  2. Pikirkan dan Syukurilah!
  3. Yang Lalu Biar Berlalu
  4. Hari Ini Milik Anda
  5. Biarkan Masa Depan Datang Sendiri
  6. Cara Mudah Menghadapi Kritikan Pedas
  7. Jangan Mengharap "Terima Kasih" dari Seseorang
  8. Berbuat Baik Terhadap Orang Lain, Melapangkan Dada...
  9. Isi Waktu Luang Dengan Berbuat!
  10. Jangan Latah!
  11. Qadha' dan Qadar
  12. Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
  13. Jadikan Buah Lemon Itu Minuman yang Manis!
  14. Siapakah yang Memperkenankan Doa Orang yang Kesuli...
  15. Semoga Rumahmu Membuat Bahagia
  16. Ganti Itu dari Allah
  17. Iman Adalah Kehidupan
  18. Ambil Madunya, Tapi Jangan Hancurkan Sarangnya!
  19. "Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang."
  20. "Ataukah mereka dengki pada manusia atas apa yang ...
  21. Hadapi Hidup Ini Apa Adanya!
  22. Yakinilah Bahwa Anda Tetap Mulia Bersama Para Pene...
  23. Shalat.... Shalat....
  24. "Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah ad...
  25. "Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi!'"
  26. Sabar Itu Indah ...
  27. Jangan Meletakkan Bola Dunia di Atas Kepala!
  28. Jangan Sampai Hal-hal yang Sepele Membinasakan And...
  29. Terimalah Setiap Pemberian Allah dengan Rela Hati,...
  30. Selalu Ingatlah Pada Surga yang Seluas Langit dan ...
  31. "Demikianlah, Telah Kami Jadikan Kamu Umat Yang Ad...
  32. 32. Bersedih: Tak Diajarkan Syariat dan Tak Bermanfaat...
  33. Rehat
  34. Tersenyumlah!
  35. Rehat 2
  36. Nikmatnya Rasa Sakit
  37. Nikmatnya Rasa Sakit
  38. Seni Bergembira
  39. Rehat 3
  40. Mengendalikan Emosi
  41. Kebahagiaan Para Sahabat Bersama Rasulullah s.a.w....
  42. Enyahkan Kejenuhan dari Hidupmu!
  43. Buanglah Rasa Cemas!
  44. Rehat 4
  45. Jangan Bersedih, Karena Rabb Maha Pengampun Dosa d...
  46. Jangan Bersedih, Semua Hal Akan Terjadi Sesuai Qad...
  47. Jangan Bersedih, Tunggulah Jalan Keluar!
  48. Rehat 5
  49. Jangan Bersedih, Perbanyaklah Istighfar Karena All...
  50. Jangan Bersedih, Ingatlah Allah Selalu!
  51. Jangan Bersedih dan Putus Asa dari Rahmat Allah!
  52. Jangan Bersedih Atas Kegagalan, Karena Anda Masih ...
  53. Jangan Bersedih Atas Sesuatu yang Tak Pantas Anda ...
  54. Jangan Bersedih, Usirlah Setiap Kegalauan!
  55. Jangan Bersedih Bila Kebaikan Anda Tak Dihargai Or...
  56. Jangan Bersedih Atas Cercaan dan Hinaan Orang!
  57. Jangan Bersedih Atas Sesuatu yang Sedikit, Sebab P...
  58. Jangan Bersedih Atas Apa yang Masih Mungkin Akan T...
  59. Jangan Bersedih Menghadapi Kritikan dan Hinaan! Se...
  60. Rehat 6
  61. Jangan Bersedih! Pilihlah Apa yang Telah Dipilih A...
  62. Jangan Bersedih dan Mempedulikan Perilaku Orang
  63. Jangan Bersedih dan Pahamilah Harga yang Anda Sedi...
  64. Jangan Bersedih Selama Anda Masih Dapat Berbuat Ba...
  65. Jangan Bersedih Jika Mendengar Kata-kata Kasar, Ka...
  66. Rehat 7
  67. Jangan Bersedih! Sebab Bersabar Atas Sesuatu yang ...
  68. Jangan Bersedih Karena Perlakuan Orang Lain, Tapi ...
  69. Jangan Bersedih Karena Rezeki yang Sulit
  70. Jangan Bersedih, Karena Masih Ada Sebab-sebab yang...
  71. Jangan Memakai Baju Kepribadian Orang Lain
  72. 'Uzlah dan Dampak Positifnya
  73. Jangan Bersedih Karena Tertimpa Kesulitan!
  74. Rehat 8
  75. Jangan Bersedih, Inilah Kiat-Kiat untuk Bahagia
  76. Ulasan AL QURAN 1
  77. Ulasan AL QURAN 2
  78. Ulasan Mengenai TUHAN 1
  79. Ulasan Mengenai TUHAN 2
  80. Ulasan Mengenai TUHAN 3
  81. Ulasan Mengenai TUHAN 4
  82. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W
  83. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W - bagian 2
  84. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W - bagian 3
  85. TAKDIR
  86. TAKDIR - bagian 2
  87. 87. TAKDIR - bagian 3
  88. KEMATIAN
  89. KEMATIAN - bagian 2
  90. Hari AKHIRAT
  91. Hari AKHIRAT - bagian 2
  92. Hari AKHIRAT - bagian 3
  93. Hari AKHIRAT - bagian 4
  94. Keadilan dan Kesejahteraan
  95. Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 2
  96. Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 3
  97. Makanan
  98. Ahklak bagian 2
  99. Ahklak bagian 3
  100. PAKAIAN
  101. PAKAIAN bagian 2
  102. PAKAIAN bagian 3
  103. PAKAIAN bagian 4
  104. Akhlak
  105. KESEHATAN
  106. KESEHATAN bagian 2
  107. PERNIKAHAN
  108. PERNIKAHAN bagian 2
  109. PERNIKAHAN bagian 3
  110. SYUKUR
  111. SYUKUR bagian 2
  112. SYUKUR bagian 3
  113. HALAL BIHALAL
  114. HALAL BIHALAL bagian 2
  115. MANUSIA
  116. MANUSIA bagian 2
  117. MANUSIA bagian 3
  118. PEREMPUAN
  119. PEREMPUAN bagian 2
  120. PEREMPUAN bagian 3
  121. PEREMPUAN bagian 4
  122. Masyarakat
  123. UMMAT
  124. KEBANGSAAN
  125. KEBANGSAAN bagian 2
  126. KEBANGSAAN bagian 3
  127. AHL AL KITAB
  128. AHL AL KITAB bagian 2
  129. AHL AL KITAB bagian 3
  130. AHL AL KITAB bagian 4
  131. AGAMA
  132. SENI
  133. SENI bagian 2
  134. EKONOMI
  135. EKONOMI bagian 2
  136. POLITIK
  137. POLITIK
  138. POLITIK bagian 2
  139. ILMU dan TEKNOLOGI
  140. ILMU dan TEKNOLOGI bagian 2
  141. KEMISKINAN
  142. MASJID
  143. MUSYAWARAH
  144. MUSYAWARAH bagian 2
  145. Ukhuwah
  146. Ukhuwah bagian 2
  147. JIHAD
  148. JIHAD bagian 2
  149. P U A S A
  150. P U A S A bagian 2
  151. LAILATUL QADAR
  152. W A K T U
  153. W A K T U bagian 2
  154. Nasihat untuk Menikah Menurut Islam
  155. Di Jalan Dakwah Aku Menikah
  156. Ringkasan buku : Aku Ingin Menikah, Tapi ... ::..
  157. ALASAN TEPAT UNTUK MENIKAH
  158. Keotentikan Al-Quran
  159. Bukti-bukti Kesejarahan Al - qur'an
  160. Penulisan Mushhaf Al-Qur'an
  161. Bukti Kebenaran Al-Quran bagian 1
  162. Bukti Kebenaran Al-Quran bagian 2
  163. Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
  164. Periode Turunnya Al-Quran bagian 1
  165. Periode Turunnya Al-Quran bagian 2
  166. Periode Turunnya Al-Quran bagian 3
  167. Dakwah menurut Al-Quran
  168. Tujuan Pokok Al-Quran
  169. Kebenaran Ilmiah Al-Quran
  170. Sistem Penalaran menurut Al-Quran
  171. Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
  172. Perkembangan Tafsir
  173. Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran
  174. Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas? bagian 1
  175. Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas? bagian 2
  176. Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini? bagian 1...
  177. Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini? bagian 2...
  178. Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
  179. Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
  180. Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu bagian 2
  181. Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
  182. Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat bagian 2
  183. Sejarah Perkembangan Tafsir
  184. Kodifikasi Tafsir
  185. Metode Tafsir
  186. Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir
  187. Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran
  188. Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran bagian 1
  189. Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran bagian 2
  190. Perubahan Sosial
  191. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
  192. Bidang Bahasa
  193. Haramnya durhaka kepada kedua orang tua
  194. Syirik Kecil bagian 1
  195. Syirik Kecil bagian 2
  196. HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE bagia 1
  197. HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE bagia 2
  198. Hukum Mengenakan Pakaian Yang Bergambar Dan Menyim...
  199. Perkembangan Metodologi Tafsir
  200. Perkembangan Metodologi Tafsir 2
  201. Perkembangan Metodologi Tafsir 3
  202. Tafsir dan Modernisasi
  203. Tafsir dan Modernisasi 2
  204. Penafsiran Ilmiah Al-Quran
  205. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 2
  206. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 3
  207. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 4
  208. Metode Tafsir Tematik
  209. Beberapa Problem Tafsir
  210. Metode Mawdhu'iy
  211. Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
  212. Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
  213. Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi...
  214. Hubungan Hadis dan Al-Quran
  215. Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
  216. Pemahaman atas Makna Hadis
  217. Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir bgn 1
  218. Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir bgn 2
  219. Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
  220. Al-Qur'an dan Alam Raya
  221. Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah
  222. Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

By Support