Sementara orang ada yang meragukan otentisitas penjelasan-penjelasan Nabi yang merupakan bagian dari Sunnah (hadits). Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Dugaan yang sangat keliru ini timbul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis yang, secara resmi, diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah saw.
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:
1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis langsung oleh sahabat 'Abdullah bin Amir bin 'Ash --seorang sahabat yang, oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis-- dan sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan ulama yang --oleh Ibn Sirin-- dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
4. Shafifah Jabir bin 'Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada', dan lain-lain.118
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis Rasulullah saw., telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan tabi'in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan hadis (pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam memahami riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) yang menyatakan bahwa para ulama menghapal sekian ratus ribu hadis. Mereka menduga bahwa jumlah yang ratusan ribu itu adalah jumlah matan (teks redaksi hadis), sehingga --dengan demikian-- mereka menganggap mustahil penulisannya secara keseluruhan sejak awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari bahwa jumlah hadis, yang dinyatakan ratusan ribu tersebut, bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) hadis. Karena satu matan hadis dapat memiliki puluhan jalur.119
Ada pula yang menduga bahwa hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis telah dinukilkan oleh para pengarangnya melalui "penghapal-penghapal hadis", yang hanya mampu menghapal tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah. Dugaan ini timbul karena kedangkalan pengetahuan mereka tentang ilmu hadis. Jika mereka mengetahui dan menyadari syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal hadis (antara lain, seperti tepercaya, kuat ingatan, identitasnya dikenal sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai majhul al-hal aw al-'ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya atau juga identitas pribadinya).
Ada pula yang menduga bahwa para ahli hadis hanya sekadar melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan (kritik intern). Dugaan ini juga keliru, karena dua dari lima syarat penilaian hadis shahih (yaitu tidak syadz dan tidak mengandung 'illah) justru menyangkut teks (matan) hadis-hadis tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun sepintas lalu berkaitan dengan sanad hadis, bertujuan untuk memberikan keyakinan akan kebenaran hadis-hadis tersebut.120
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan tertentu.
Catatan kaki
116 Lihat lebih lanjut Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, Al-Halabiy, Kairo, 1969, h. 18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, Mesir, Al-Risalah, 1980, h. 112-13.
117 Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut. Lihat Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, Kairo, tt., h. 247.
118 Lihat lebih lanjut Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977, cet. IX, h. 23, dan seterusnya; Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah qabla Al-Tadwin Wahdah, Kairo, 1963, cet. I, h. 346, dan seterusnya.
119 Apabila dihimpun seluruh matan hadis dari seluruh kitab-kitab hadis yang mu'tabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 matan hadis, termasuk di dalamnya hadis-hadis shahih, hasan dan dhaif. Dalam hal ini, ahli hadis, Al-Hakim, dinilai berlebihan ketika menyatakan bahwa jumlah hadis shahih tidak lebih dari 10.000 hadis. Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Kairo, Al-Maktabah Al-Tsaqafiyah, 1967, h. 59. Walaupun demikian, harus diakui bahwa sebagian besar hadis Nabi direkam bukan dalam bentuk tulisan, tetapi hapalan.
120 Tiga syarat lainnya adalah: Pertama, perawi hadis tersebut tepercaya dari segi pandangan agama, tidak berbohong. Kedua, kuat hapalannya. Dan ketiga, bersambung sanadnya dalam pengertian bahwa rentetan para perawinya pernah saling bertemu atau diduga pernah bertemu
0 vxcfgdsdhghgwegf yfteift:
Posting Komentar