Pages

Kamis, 22 Oktober 2009

Ulasan Mengenai TUHAN 4

4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA

Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan
perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.

Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang
ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau
melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan
istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya
yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan
demi karena Allah.

Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia
untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik
sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun
selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah
kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar
dalam firman-Nya,

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'"
(QS Al-An'am [6]: 162).

ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah
dalam jiwa manusia adalah firman-Nya,

"Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak)
yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling
berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak
yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya
(budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]:
29).

Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang
yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya,
tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk
perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau
memerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pun
demikian. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budak
itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu
dengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuh
seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan atau
kontradiksi dalam kesehariannya.

Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga
memahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulan
pada ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis
dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara
orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa
manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali).
Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang
mustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya,
karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui
adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia
kosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan
demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaan
semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di
dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas
mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun,
pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide
tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu.
Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang
pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya).
Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakan
istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang
dimiliki oleh pihak lain).

Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti
kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah
imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang
saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali
dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke
klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak
sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya
ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang
merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk
penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran
menegaskan bahwa,

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya
pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan
(Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah
keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS
Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya
di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang
mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak
binasa.

Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia
kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut
dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya
terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak
mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu
mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk
memperoleh semacam, kepastian, dalam langkah-langkahnya?"
Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali
melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena
jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur
alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang
itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang
mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh
kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat
menjamin!

Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran
yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia,
tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dan
kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan
pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme
murni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme
(banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan
kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan
tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam
pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya
berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada
Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah
murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena
akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus
semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,

"Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa
yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).

Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber
kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang
berkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidak
dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan
matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya
kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau
dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah
kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan
agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan
kepribadian manusia, dan lain-lain.

Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah,
dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami
godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran
Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar
saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal
ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang
mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi
Saw. dengan bersabda,

"Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan)
menjadi waswasah (bisikan)."

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil
Sammak ibn Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam
dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah
saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik,
"Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan.
Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami)
yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman
Allah:

"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
kitab sebelum kamu" (QS Yunus [10]: 94).

Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal,
Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui
ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat
Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."

Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:

"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS Ali 'Imran
13]: 8).[]

Catatan kaki:
-------------
1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq. Di
sana tidak ada kata "Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa
ayat dari surat Al-Qalam. dalam surat ini tidak disebut
kata "Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil.
Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata
"Allah" tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh).
Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah
Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicara
tentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan,
sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua
Hijriah.

Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayat
pertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti
Tuhan Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang disebut sebanyak
dua kali. Benar bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata
"Allah" sebanyak empat kali, tetapi ayat-ayatnya bukan
merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.

Wahyu kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat
ini tidak ditemukan kata apa pun yang menunjukkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Wahyu keenam adalah surat At-Takwir. Pada ayat terakhir
(ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul
'Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama,
ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.

Wahyu ketujuh adalah surat "Sabbihisma." Dalam surat ini
disebutkan kata-kata "Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi"
masing-masing sekali. Di sõnilah kata "Allah" disebutkan
untuk pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran.
Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan
sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan-
perbuatan-Nya.

Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilan
Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha,
wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat,
wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu kelima belas
At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuh
belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.

Dalam Wahyu kedelapan hingga kedelapan belas tersebut di
atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti pada wahyu
kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata
Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum
musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh
Nabi Muhammad Saw.

Ulasan Mengenai TUHAN 3

2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia, "Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?' Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS Al-An'am [6]: 40-41). "Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]: 22). Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu sungguh tepat pandangan sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus. 3. DALIL-DALIL LOGIKA Bertebaran (ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliah tentang Keesaan Tuhan- Misalnya, "Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101) "Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22) Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaan, karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu." Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian juga pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan. Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran juga mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24). "Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan pengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4) MACAM-MACAM KEESAAN Berbicara tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama, "Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa." Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa untuk menunjuk kepada Allah, padahal sebelumnya tidak pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang menunjuk kepada-Nya. Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat. Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akar kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid yang berarti "satu." Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata. Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi sebagai sifat- tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Berbicara tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk dihayati bahwa kata "Ahad" terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah bermaksud untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan saja dalam maknanya, tetapi juga dalam bilangan pengulangan lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkan kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang berarti "satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya? Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya: "Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163) Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya, sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut. Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan 1. Keesaan Zat 2. Keesaan Sifat 3. Keesaan Perbuatan, dan 4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya. 1. KEESAAN ZAT-NYA Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri dari beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian itu, ia tidak dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam tangan ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena ia terdiri dari bagian-bagian tersebut. Jika demikian, Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian: "Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS Fathir [35]: 15). Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11) Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang seperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak ada yang serupa dengan-Nya. Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya. 2. KEESAAN SIFAT-NYA Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut. Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umum dikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang populer menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-Husna. Rincian sifat/nama-nama itu dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan QS Al-A'raf [7]: 180. 3. KEESAAN PERBUATAN-NYA Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna: [tulisan Arab] Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. berlaku sewenang-wenang, atau "bekerJa" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya. Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun. "Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS Ya Sin [36]: 82) Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun. "Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran [3]: 59). Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa, yang dimulai dengan kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26). Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses. (




Bersambung 4/4

Ulasan Mengenai TUHAN 2

Karena itu ketika memaparkan tauhid kepada umatnya, Nabi mulia ini tidak lagi berkata sebagai Nabi-nabi sebelumnya berkata, "Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya," tetapi dinyatakannya, "Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik untukmu kalau kamu mengetahuinya" (QS Al-'Ankabut [29]: 16) Dan dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan suku, bangsa dan jenis makhluk tertentu saja. "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79). "Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), 'Sebenarnya Tuhan kamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu" (QS Al-Anbiya, [21]: 56). Terlihat juga dari Al-Quran bagaimana beliau "berdiskusi" dengan umatnya dalam rangka membuktikan kesesatan mereka, dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara lain surat Al-Anbiya, [21]: 51-67). Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu -seperti ditulis oleh Abdul-Karim Al-Khatib dalam buku karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din- sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya tidak dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya. Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan jelas hingga mencapai puncaknya dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw. Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw. dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun. "Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan (segala sesuatu). Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah dan Tuhan-mulah yang (bersifat) Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan qalam, mengajar manusia apa yang tidak diketahui(-nya)" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5). Dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama. Al-Quran menunjuk kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan) Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata "Allah."1 Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang oleh sementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi: "Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku." Di sisi lain, tidak digunakannya kata "Allah" pada wahyu-wahyu pertama itu, adalah dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata "Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara "Allah" dan jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita (QS Al-Isra' [17]: 40), serta manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah, karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar [39]: 3) Dan kekeliruan-kekeliruan itu, maka Al-Quran melakukan pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai gaya bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yang didahului dengan sumpah, misalnya: "Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang (perbuatan durhaka) dengan sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa, Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]: 1-5). Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman, "Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf [12]: 39). Kemudian Al-Quran juga menggunakan gaya perumpamaan, seperti: "Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui" (QS Al-'Ankabut [29]: 41). Ayat ini memberi perumpamaan mengenai orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah, sebagai serangga yang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akan terjerat menjadi mangsa laba-laba, dan bukannya terlindung olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya, yang satu jenis pun seperti jantan laba-laba, berusaha diterkam oleh laba-laba betina begitu mereka selesai berhubungan seks. Kemudian telur-telur laba-laba yang baru saja menetas, saling tindih-menindih sehingga yang menjadi korban adalah yang tertindih. Dalam kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yang bertujuan menegakkan tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahim ketika memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya (QS Al-Anbiya' [21]: 51-71) BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya, "'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]: 143). Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak berkemampuan untuk melihat-Nya -paling tidak- dalam kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja tanpa melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya? Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu. Pertama, karena sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yang dicari tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba, dengan; mudah ia dapat melihat. Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan menemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu. Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani, "Apakah Anda pernah melihat Tuhan?" Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?" "Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali menjawab,"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ..." Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan. Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yang dikemukakan oleh para filosof tentang Wujud dan Keesaan Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwa kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana dan mudah ditangkap, berbeda dengan para filosof yang seringkali berbelit-belit. Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi, dan teleologi. Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologi berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu Kini para filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan tanda tentang adanya yang real; pengalaman ini tidak akan berarti tanpa adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada gilirannya tidak akan berarti tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi, Tuhan Yang Mahakuasa. Bukti lain adalah pengalaman keagamaan yang dialami oleh kebanyakan manusia yang tidak diragukan kejujurannya, dan yang intinya mengandung informasi yang sama. Bukti-bukti yang dipaparkan di atas, dikemukakan oleh Al-Quran dengan berbagai cara, baik tersurat maupun tersirat. Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu: 1. Kenyataan wujud yang tampak. 2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia. 3. Dalil-dalil logika. 1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya. "Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS Al-Ghasyiyah [88]: l7-20). Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. "Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi serta Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7). Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya: "(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4). Bersambung 3/4

Ulasan Mengenai TUHAN 1

Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan
umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat
manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini.
Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan
banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah
(tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan,
Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi
adalah Apollo atau Dewa Matahari.

Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa,
yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin
antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir,
tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi
Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun
demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan
Terang. Begitulah seterusnya.

Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab,
walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta
langit dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat
yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al-
Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping
ratusan berhala lainnya.

Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan
membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan
wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui
bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau
keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan
tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan
kata yang menunjuk-Nya. Kata "Allah" saja dalam Al-Quran
terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam
Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang menafikan
adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya
serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada
penjelasan tentang tauhid.

FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH

Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak
ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh
Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql
menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan
Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan
Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan
karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga
tidak perlu dijelaskan.

Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri
setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah
(bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami
dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui."

Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah
Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172).

Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai
tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi,
terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda untuk
berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas
wujud Yang Maha mutlak.

Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya
manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang
Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan itu, adalah suara
fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan
terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali
-karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya
begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila
diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap
di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan
kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada
tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada
tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata
illa billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada daya untuk memperoleh
manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali
bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung). Dan
dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui
atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.

Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa
Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan
prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk
menenangkan mereka sambil berkata) "Jangan takut, jangan
bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan"
(QS Fushshilat [41]: 30)

"Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram
karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat
Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat
atau panjang- dimana manusia mengalami keraguan tentang
wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya
untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralih
menjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung.

Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan
ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena
harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapat
dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula
beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia
yang ateis. Misalnya,

"Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak
ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah
[45]: 24)

Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,

"Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."

Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak
mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan
akal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu
kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu.

Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan
diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa
masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258), atau Fir'aun
ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, "Siapa
Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).

Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras
kepala adalah pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan
meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran,
menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada
fitrah, namun sayang dia telah terlambat.

"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah
dia. 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah
sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91).

Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan
merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya.
Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka
pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa
pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia
akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia
bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti
kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa
saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat
ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi
kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan
daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian
seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan
adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt.,
Tuhan Yang Maha Esa.

TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI

Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi
dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.

"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25).

"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya."

Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang
diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat
Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85.

Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari
Allah:

"Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang
diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak
ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14)

Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:

"Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang
mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga,
dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orarg
yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)

Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat
melalui ayat-ayat Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam
pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa
Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah
dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang
membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan

Allah Swt. menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada
para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat
mereka. Karena itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang
dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnya
setelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang
memusnahkan mereka:

"Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah
orang-orang aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).

Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu
jauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi
di sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknya
berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat
Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan
oleh Hud a.s. disertai dengan peringatan tentang
nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan. Dalam rangkaian
ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud
mengingatkan:

"Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah
menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa)
sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatan
tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS
Al-A'raf [7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]:
123-140)

Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan
rinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula.
Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka dari
tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61).

Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian
manusia berasal dari tanah -dalam arti bahwa sperma yang
dituangkan ke rahim istri berasal dari makanan yang
dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat
mencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum,
pastilah lebih mampu dari mereka yang sekadar dipaparkan
kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum Hud
dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi
Shaleh:

"Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh.
Dia berkata, 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
bukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina Allah ini
sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73).

Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi,
melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya.
Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan dengan
bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum
syariat.

"Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara mereka
Syu'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'" (QS
Al-A'raf [7]: 85).

Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk
membangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan
keadilan.

Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan
periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para Nabi," "Bapak
Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan Ilahi" karena
agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama
beliau.

Ibrahim a.s. menemukan dan membina keyakinannya melalui
pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang
dilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti bukan saja
dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam,
sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat 75, tetapi
juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk
diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut
Al-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana
cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu
dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)

Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya
sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad
dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi
Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan
yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan.
Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api,
listrik, atau rahasia-rahasia atom -betapapun besarnya
pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasai
oleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga
manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya
tunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam, serta
menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannya
berlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan ini
tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s.
tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan dengan
apa yang diketahui dan tidak-diketahuinya berkaitan
kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini
dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya."


WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.


Bersambung 2/4

Ulasan AL QURAN 2

Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa
demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya antara lain
adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan
hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan
ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks
antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan
ajaran-ajarannya.

Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia
kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan
mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci
Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan
tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.

Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan
merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:


"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
(QS Al-Qashash [28]: 81).

Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-
hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).

Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran,
bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk
cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di
rumahnya,

Maksudnya,

"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).

Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah
sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang
berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan
dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

Yang pertama dan kedua adalah,

"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
(QS Yusuf [12]: 23).

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata
dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya,
pada saat itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati Rasul
dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau
hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.

Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di
dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah
materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya
diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh
optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang
bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis, karena
kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama
sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang
mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib
mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan,
saling mengajar, sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.

Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
umat manusia.

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan juga agama.

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran.

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan
yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik,
yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan
membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat
dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas
keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang
akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat
mengarahkan kita untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh
subur dalam negara kita. []


Sbr:
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Ulasan AL QURAN 1


Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna"
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis
baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta
orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada
kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan
jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang
dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan
kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah
77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah
kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat
terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah
(ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama
dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali;
zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah,
masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,
sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
Demikian

"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran
menantang:

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada
seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan
berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu
dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan
kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan
kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?"
tanya Nabi -dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar
beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh
kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan
Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya,
membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang
dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling
berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat
manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat
pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta
syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang
berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya
Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran
adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum
subjek dituntut berperan guna memahami objek. Namun
pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang
subjek. Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan
usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan
memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
(QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
(daun) dengannya untuk kambingku, disamping
keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam
material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran
Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk
tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara
tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya akan
menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama
dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.

Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian,
adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.


Sbr: WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

(bersambung 2/2)










Jangan Bersedih, Inilah Kiat-Kiat untuk Bahagia


1. Sadarilah bahwa jika Anda tidak hidup hanya dalam batasan hari
ini saja, maka akan terpecahlah pikiran Anda, akan kacau semua urusan,
dan akan semakin menggunung kesedihan dan kegundahan diri Anda.
Inilah makna sabda Rasulullah: "Jika pagi tiba, janganlah menunggu sore; dan
jika sore tiba, janganlah menunggu hingga waktu pagi."
2. Lupakan masa lalu dan semua yang pernah terjadi, karena perhatian
yang terpaku pada yang telah lewat dan selesai merupakan kebodohan dan
kegilaan.
3. Jangan menyibukkan diri dengan masa depan, sebab ia masih berada
di alam gaib. Jangan pikirkan hingga ia datang dengan sendirinya.
4. Jangan mudah terguncang oleh kritikan. Jadilah orang yang teguh
pendirian, dan sadarilah bahwa kritikan itu akan mengangkat harga diri
Anda setara dengan kritikan tersebut.
5. Beriman kepada Allah, dan beramal salih adalah kehidupan yang
baik dan bahagia.
6. Barangsiapa menginginkan ketenangan, keteduhan, dan
kesenangan, maka dia harus berdzikir kepada Allah.
7. Hamba harus menyadari bahwa segala sesuatu berdasarkan
ketentuan qadha' dan qadar.
8. Jangan menunggu terima kasih dari orang lain.
9. Persiapkan diri Anda untuk menerima kemungkinan terburuk.
10. Kemungkinan yang terjadi itu ada baiknya untuk diri Anda.
11. Semua qadha' bagi seorang muslim baik adanya.
12. Berpikirlah tentang nikmat, lalu bersyukurlah.
13. Anda dengan semua yang ada pada diri Anda sudah lebih banyak
daripada yang dimiliki orang lain.
14. Yakinlah, dari waktu ke waktu selalu saja ada jalan keluar.
15. Yakinlah, dengan musibah hati akan tergerak untuk berdoa.
16. Musibah itu akan menajamkan nurani dan menguatkan hati.
17. Sesungguhnya setelah kesulitan itu akan ada kemudahan.
18. Jangan pernah hancur hanya karena perkara-perkara yang sepele.
19. Sesungguhnya Rabb itu Maha Luas ampunan-Nya.

Sbr: Buku LA TAHZAN

Rehat 8


Jangan bersedih, karena kesedihan hanya akan membuatmu lemah
dalam beribadah, membuatmu malas untuk berjihad, membuatmu putus
harapan, menggiringmu untuk berburuk sangka, dan menenggelamkanmu
ke dalam pesimisme.
Jangan bersedih, sebab rasa sedih dan gundah adalah akar penyakit
jiwa, sumber penyakit syaraf, penghancur jiwa, dan penebar keraguan dan
kebingungan.
Jangan bersedih, karena ada al-Qur'an, ada doa, ada shalat, ada
sedekah, ada perbuatan baik, dan ada amalan yang memberikan manfaat.
Jangan bersedih, dan jangan pernah menyerah kepada kesedihan
dengan tidak melakukan aktivitas. Shalatlah ... bertasbihlah ... bacalah ...
menulislah ... bekerjalah ... terimalah tamu ... bersilaturrahmilah ... dan
merenunglah.
Allah berfirman,
{Dan, Rabb-mu berfirman: "Berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya akan Aku
perkenankan bagimu."}
(QS. Al-Muvmin: 60)
{Berdoalah kamu kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.}
(QS. Al-A'raf: 55)
{Maka, sembahlah Allah dengan memumikan ibadah kepada-Nya.}
(QS. Al-Mu'minun: 14)
{Katakanlah: "Serulah Allah dengan seruan Ar-Rahman. Dengan noma mana
saja yang kamu seru, Dia mempunyai al-asma' al-husna (nama-nama yang
terbaik)."}
(QS. Al-Isra' : 110)

Jangan Bersedih Karena Tertimpa Kesulitan!


Kesulitan-kesulitan itu, sebenarnya, akan menguatkan hati,
menghapuskan dosa, menghancurkan rasa ujub, dan menguburkan rasa
sombong. Kesulitan-kesulitan itu; akan meluruhkan kelalaian, menyalakan
lentera dzikir, menarik empati sesama, menjadi doa yang dipanjatkan oleh
orang-orang yang salih, merupakan wujud ketundukan kepada tiran,
merupakan sebuah penyerahan diri kepada Dzat Yang Esa, merupakan sebuah
peringatan dini, sebuah upaya untuk menghidupkan dzikir, merupakan upaya
untuk menjaga hati dengan bersabar, merupakan persiapan untuk menghadap
Sang Tuan, dan sebuah sentilan untuk tidak cenderung pada dunia, merasa Jangan Bersedih Karena Tertimpa Kesulitan!

'Uzlah dan Dampak Positifnya


Yang saya maksudkan dengan 'uzlah (pengasingan diri) di sini adalah
ber-uzlah dari segala bentuk kejahatan, dan kemubahan yang berlebihan.
Ber-'uzlah seperti ini akan membuat dada menjadi lapang dan mengikis semua
kesedihan.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Ada keharusan bagi hamba untuk
melakukan 'uzlah agar dapat beribadah kepada Allah, berdzikir kepada-
Nya, membaca ayat-ayat-Nya, melakukan muhasabah terhadap dirinya,
berdoa kepada-Nya, meminta ampunan-Nya, menjauhi tindakan-tindakan
yang jelek, dan lain sebagainya.
Dalam Shaidul Khathir, Ibnu al-Jauzi telah menuliskan tiga pasal, yang
ringkasannya demikian: "Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang
lebih besar daripada 'uzlah. Karena 'uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah
keagungan, sebuah kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari
keburukan dan kejahatan, sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu,
sebuah cara untuk menjaga usia, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri
dari orang-orang yang mendengki, sebuah perenungan tentang akhirat, sebuah
persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan jiwa raga untuk melakukan
ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal yang bermanfaat, dan
sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash yang ada."
Arah pembicaraannya seperti yang dimaksudkan dalam kutipan di atas.
Karena yang tertulis di sini adalah arti yang melalui penyuntingan.
Pada bahasan sebelumnya telah saya katakan bahwa dalam 'uzlah itu
terdapat sebuah kemuliaan yang hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam
ber-'uzlah terjadi pengembangan daya berpikir, pencapaian pada sebuah hasil
pemikiran, penenangan kalbu, dan penyelamatan kehormatan. Di samping
itu, dalam ber-'uzlah ada banyak pahala yang didapatkan, ada usaha untuk
menjauhkan diri dari kemungkaran, ada pemberdayaan jiwa untuk selalu
melakukan ketaatan, ada waktu untuk mengingat Sang Maha Pengasih,
ada usaha untuk menjauhi hal-hal yang melenakan dan menyita waktu,
ada upaya untuk lari menjauh dari fitnah, ada usaha untuk menjauh dari
kepungan musuh, ada kesempatan untuk tidak mencela orang lain, ada
pemenuhan hak-hak, ada kesempatan untuk sembunyi dari orang yang
sombong, dan ada kesempatan untuk bersabar terhadap orang yang bodoh.
Dalam 'uzlah juga terdapat tabir untuk menutupi aurat: yakni aurat
berupa aurat lisan, kesalahan melangkah, penyimpangan pikiran, dan
kecenderungan jiwa yang jahat. 'Uzlah merupakan hijab untuk menutupi wajah-wajah kebaikan,
cangkang untuk menyembunyikan mutiara-mutiara keutamaan, dan lengan
baju untuk membungkus tangan-tangan kebaikan. Alangkah indahnya ber-
'uzlah dengan buku; karena orang akan dapat menambah usia, dapat
mengulur kematian, dapat meraih kenikmatan dalam kesendirian, dapat
mengembara menuju ketaatan, dan dapat berjalan-jalan dalam perenungan.
Dalam 'uzlah akan Anda dapatkan perenungan, penghayatan, tafakkur,
dan tadabbur.
Pada saat ber-'uzlah Anda akan dapat menyelami makna-makna,
menangkap butiran-butiran nilai, merenungkan tujuan-tujuan hidup, dan
membangun menara ide serta pemikiran.
Pada saat ber-'uzlah ruh berada dalam kegembiraan, hati berada dalam
kebahagiaan terbesar, dan nurani berada dalam perburuan nilai-nilai.
Jangan riya' pada waktu ber-'uzlah, sebab hanya Allah yang melihat
Anda. Dan, jangan perdengarkan pembicaraan Anda kepada sesama, sebab
hanya Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat yang mendengar.
Semua orang besar menyirami 'tanaman' kemuliaan mereka dengan
'air' 'uzlah sampai mereka bisa tegak berdiri. Selanjutnya, tumbuhlah pohon
keagungan mereka dan menghasilkan buahnya yang bisa dipetik setiap saat
dengan izin Rabb-nya.
Ali ibn Abdul Aziz al-Jurjani berkata,
"Mereka bilang padaku bahwa dalam dirimu ada kemurungan.
Sebenarnya mereka melihat seorang yang menjauhi sikap yang rendah.
Jika dikatakan, ada mata air, saya katakan saya telah melihatnya,
namunjiwa merdeka tahan terhadap rasa haus
Saya tidak menunaikan hak ilmu jika setiap kali aku melihat
sesuatu yang menggiurkan kujadikan dia tangga bagi diriku
Apakah aku akan melakukan itu kemudian aku memetik kehinaan?
Itu sama dengan mengikuti kebodohan yang demikian pasti.
Andaikata orang berilmu menjaganya dia pasti menjaga mereka.
Andaikata mengagungkannya di dalam jiwa pasti mereka diagungkan.
Namun mereka meremehkannya, maka hinalah mereka
mereka menggotorinya dengan ketamakan hingga dia bermuka masam."
Sementara itu Ahmad ibn Khalil al-Hanbali berkata,
"Siapa menginginkan kemuliaan dan ketenangan dari kesedihan
panjang melelahkan,
ia harus menyendiri dan rela dengan yang sedikit saja.
Bagaimana seseorang akanjadi bersih, jika ia hidup dari yang kotor.
Antara fitnah, celaan para penipu dan bujukan kata manis orangorang
pandir.
Di tengah-tengah para penghasut dan kekerdilan orang-orang kikir Ah, menyesal aku harus mengenal orang, menyesal harus mengenal
jalan hidupnya. "
Qadhi Ahmad ibn Abdul Aziz al-Jurjani berkata,
"Tak pernah kunikmati manisnya hidup hingga teman dudukku rumah
dan buku.
Tak ada yang lebih mulia daripada ilmu karenanya aku mencarinya
untuk teman akrab.
Kehinaan itu ada karena pergaulan, tinggalkanlah mereka dan
hiduplah dengan mulia."
Penyair yang lain berkata,
"Aku diam dalam kesendirian dan tinggal dalam rumahku,
ada rasa tentram, dan tumbuh berkembang kebahagiaanku.
Kuputuskan hubunganku dengan sesama, dan aku tidak peduli
apakah pasukan telah berangkat atau panglima telah menunggang
kudanya."
Al-Humaydi al-Muhaddats berkata,
Pertemuan dengan manusia tak akan mendatangkan faedah apa-apa,
kecuali hanya menambah pembicaraan yang tak tertata
Kurangilah intensitas bertemu dengan mereka
selain untuk menuntut ilmu atau melakukan kebaikan
Ibnu Faris berkata,
"Mereka berkata, bagaimana keadaanmu, kujawab, baik.
Satu kebutuhan terpenuhi dan yang lainnya tidak
Jika kesedihan telah menyesakkan dada
Saya katakan, semoga akan datang satu hari dengan bantuan
Temanku adalah kucingku, sahabat jiwaku adalah buku-buku
sedangkan kekasihku adalah lentera malam."
Siapa saja yang mencintai 'uzlah maka itu adalah kemuliaan baginya.
Untuk itu Anda dapat merujuk buku Al-'Uzlah karangan al-Khithabiy.

Sbr: Buku LA TAHZAN

Jangan Memakai Baju Kepribadian Orang Lain


{Dan, bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka, berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.}
(QS. Al-Baqarah: 148)
{Dan, Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat.}
(QS. Al-An'am: 165)
{Sungguh, tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).}
(QS. Al-Baqarah: 60)
Setiap manusia memiliki kelebihan, potensi dan bakat masing-masing.
Dan, salah satu keagungan Rasulullah adalah kemampuannya untuk
menempatkan setiap sahabatnya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
kesiapan mereka masing-masing. Ali misalnya, ditempatkan pada posisi
kehakiman, Mu'adz dalam masalah keilmuan, Ubay yang menyangkut al-
Qur'an, Zaid dalam masalah Faraidh, Khalid ibn Walid dalam persoalan jihad,
Hassan dalam masalah syair, dan Qais ibn Tsabit dalam orasi.
Menempatkan parfum di tempat pedang tentu sangat berbahaya
sebagaimana pedang kala ditempatkan di tempat parfum.
Larut dalam kepribadian orang lain pada hakikatnya adalah bunuh diri. Memakai
baju kepribadian orang lain adalah sebuah pembunuhan yang direncanakan.
Salah satu tanda kebesaran Allah adalah perbedaan sifat yang ada
pada manusia dan karakter yang mereka miliki, serta perbedaan bahasa
dan warna kulit mereka. Abu Bakar dengan kelembutan dan wataknya
yang pengasih telah memberikan manfaat bagi umat dan agama. Umar dengan
sikapnya yang keras dan keteguhannya telah membangkitkan Islam dan
pemeluknya. Artinya, menerima dengan penuh kerelaan pemberian yang
ada pada diri Anda, merupakan karunia. Oleh sebab itu, kembangkanlah,
tumbuhkanlah, dan dapatkanlah manfaat darinya.
{Allah, tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.}
(QS. Al-Baqarah: 286)
Taklid buta dan terlalu mudah melebur ke dalam kepribadian orang
lain merupakan penguburan hidup-hidup terhadap bakat yang Allah berikan,
pembunuhan terhadap kemauan, dan penghancuran sistem terhadap
karakter penciptaan manusia itu sendiri.
Bagi teman yang ingin membaca Al-qur'an sila klik disini! dan jika ingin membaca Al-qur'an dan terjemahanya sila klik disini!

Pasang Iklan Gratiiisss

ads ads ads ads ads ads

Sudah siap Memulai Bisnis Internet ?

Bagi anda yang pengen dapat uang saku tambahan silakan coba yang satu ini, anda hanya di minta untuk mengklik iklan lalu anda dibayar.buruan daftar di donkeymails bawah ini DonkeyMails.com: No Minimum Payout

PUISI KU

Untaian Rindu Kurindu padaMu ... Kerinduanku ingin bisa lebih dekat denganMu Kuingin lebih merasakan kebersamaan denganMu Kuingin dihatiku Kau bersemayam Diatas segala-galanya Kapan aku bisa mencintaiMu Lebih dalam ... Dan jauh lebih tulus Aku benar-benar merindukanMu Rinduku yang tak berujung padaMu Rasa rindu yang mendalam Didalam hati Berilah percikan cintaMu didalam hati Hatiku haus akan cintaMu Dan begitu rindu akan diriMu

Ilmu Islam

  1. Ya ALLAH
  2. Pikirkan dan Syukurilah!
  3. Yang Lalu Biar Berlalu
  4. Hari Ini Milik Anda
  5. Biarkan Masa Depan Datang Sendiri
  6. Cara Mudah Menghadapi Kritikan Pedas
  7. Jangan Mengharap "Terima Kasih" dari Seseorang
  8. Berbuat Baik Terhadap Orang Lain, Melapangkan Dada...
  9. Isi Waktu Luang Dengan Berbuat!
  10. Jangan Latah!
  11. Qadha' dan Qadar
  12. Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
  13. Jadikan Buah Lemon Itu Minuman yang Manis!
  14. Siapakah yang Memperkenankan Doa Orang yang Kesuli...
  15. Semoga Rumahmu Membuat Bahagia
  16. Ganti Itu dari Allah
  17. Iman Adalah Kehidupan
  18. Ambil Madunya, Tapi Jangan Hancurkan Sarangnya!
  19. "Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang."
  20. "Ataukah mereka dengki pada manusia atas apa yang ...
  21. Hadapi Hidup Ini Apa Adanya!
  22. Yakinilah Bahwa Anda Tetap Mulia Bersama Para Pene...
  23. Shalat.... Shalat....
  24. "Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah ad...
  25. "Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi!'"
  26. Sabar Itu Indah ...
  27. Jangan Meletakkan Bola Dunia di Atas Kepala!
  28. Jangan Sampai Hal-hal yang Sepele Membinasakan And...
  29. Terimalah Setiap Pemberian Allah dengan Rela Hati,...
  30. Selalu Ingatlah Pada Surga yang Seluas Langit dan ...
  31. "Demikianlah, Telah Kami Jadikan Kamu Umat Yang Ad...
  32. 32. Bersedih: Tak Diajarkan Syariat dan Tak Bermanfaat...
  33. Rehat
  34. Tersenyumlah!
  35. Rehat 2
  36. Nikmatnya Rasa Sakit
  37. Nikmatnya Rasa Sakit
  38. Seni Bergembira
  39. Rehat 3
  40. Mengendalikan Emosi
  41. Kebahagiaan Para Sahabat Bersama Rasulullah s.a.w....
  42. Enyahkan Kejenuhan dari Hidupmu!
  43. Buanglah Rasa Cemas!
  44. Rehat 4
  45. Jangan Bersedih, Karena Rabb Maha Pengampun Dosa d...
  46. Jangan Bersedih, Semua Hal Akan Terjadi Sesuai Qad...
  47. Jangan Bersedih, Tunggulah Jalan Keluar!
  48. Rehat 5
  49. Jangan Bersedih, Perbanyaklah Istighfar Karena All...
  50. Jangan Bersedih, Ingatlah Allah Selalu!
  51. Jangan Bersedih dan Putus Asa dari Rahmat Allah!
  52. Jangan Bersedih Atas Kegagalan, Karena Anda Masih ...
  53. Jangan Bersedih Atas Sesuatu yang Tak Pantas Anda ...
  54. Jangan Bersedih, Usirlah Setiap Kegalauan!
  55. Jangan Bersedih Bila Kebaikan Anda Tak Dihargai Or...
  56. Jangan Bersedih Atas Cercaan dan Hinaan Orang!
  57. Jangan Bersedih Atas Sesuatu yang Sedikit, Sebab P...
  58. Jangan Bersedih Atas Apa yang Masih Mungkin Akan T...
  59. Jangan Bersedih Menghadapi Kritikan dan Hinaan! Se...
  60. Rehat 6
  61. Jangan Bersedih! Pilihlah Apa yang Telah Dipilih A...
  62. Jangan Bersedih dan Mempedulikan Perilaku Orang
  63. Jangan Bersedih dan Pahamilah Harga yang Anda Sedi...
  64. Jangan Bersedih Selama Anda Masih Dapat Berbuat Ba...
  65. Jangan Bersedih Jika Mendengar Kata-kata Kasar, Ka...
  66. Rehat 7
  67. Jangan Bersedih! Sebab Bersabar Atas Sesuatu yang ...
  68. Jangan Bersedih Karena Perlakuan Orang Lain, Tapi ...
  69. Jangan Bersedih Karena Rezeki yang Sulit
  70. Jangan Bersedih, Karena Masih Ada Sebab-sebab yang...
  71. Jangan Memakai Baju Kepribadian Orang Lain
  72. 'Uzlah dan Dampak Positifnya
  73. Jangan Bersedih Karena Tertimpa Kesulitan!
  74. Rehat 8
  75. Jangan Bersedih, Inilah Kiat-Kiat untuk Bahagia
  76. Ulasan AL QURAN 1
  77. Ulasan AL QURAN 2
  78. Ulasan Mengenai TUHAN 1
  79. Ulasan Mengenai TUHAN 2
  80. Ulasan Mengenai TUHAN 3
  81. Ulasan Mengenai TUHAN 4
  82. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W
  83. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W - bagian 2
  84. Tentang Nabi MUHAMMAD S.A.W - bagian 3
  85. TAKDIR
  86. TAKDIR - bagian 2
  87. 87. TAKDIR - bagian 3
  88. KEMATIAN
  89. KEMATIAN - bagian 2
  90. Hari AKHIRAT
  91. Hari AKHIRAT - bagian 2
  92. Hari AKHIRAT - bagian 3
  93. Hari AKHIRAT - bagian 4
  94. Keadilan dan Kesejahteraan
  95. Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 2
  96. Keadilan dan Kesejahteraan - bagian 3
  97. Makanan
  98. Ahklak bagian 2
  99. Ahklak bagian 3
  100. PAKAIAN
  101. PAKAIAN bagian 2
  102. PAKAIAN bagian 3
  103. PAKAIAN bagian 4
  104. Akhlak
  105. KESEHATAN
  106. KESEHATAN bagian 2
  107. PERNIKAHAN
  108. PERNIKAHAN bagian 2
  109. PERNIKAHAN bagian 3
  110. SYUKUR
  111. SYUKUR bagian 2
  112. SYUKUR bagian 3
  113. HALAL BIHALAL
  114. HALAL BIHALAL bagian 2
  115. MANUSIA
  116. MANUSIA bagian 2
  117. MANUSIA bagian 3
  118. PEREMPUAN
  119. PEREMPUAN bagian 2
  120. PEREMPUAN bagian 3
  121. PEREMPUAN bagian 4
  122. Masyarakat
  123. UMMAT
  124. KEBANGSAAN
  125. KEBANGSAAN bagian 2
  126. KEBANGSAAN bagian 3
  127. AHL AL KITAB
  128. AHL AL KITAB bagian 2
  129. AHL AL KITAB bagian 3
  130. AHL AL KITAB bagian 4
  131. AGAMA
  132. SENI
  133. SENI bagian 2
  134. EKONOMI
  135. EKONOMI bagian 2
  136. POLITIK
  137. POLITIK
  138. POLITIK bagian 2
  139. ILMU dan TEKNOLOGI
  140. ILMU dan TEKNOLOGI bagian 2
  141. KEMISKINAN
  142. MASJID
  143. MUSYAWARAH
  144. MUSYAWARAH bagian 2
  145. Ukhuwah
  146. Ukhuwah bagian 2
  147. JIHAD
  148. JIHAD bagian 2
  149. P U A S A
  150. P U A S A bagian 2
  151. LAILATUL QADAR
  152. W A K T U
  153. W A K T U bagian 2
  154. Nasihat untuk Menikah Menurut Islam
  155. Di Jalan Dakwah Aku Menikah
  156. Ringkasan buku : Aku Ingin Menikah, Tapi ... ::..
  157. ALASAN TEPAT UNTUK MENIKAH
  158. Keotentikan Al-Quran
  159. Bukti-bukti Kesejarahan Al - qur'an
  160. Penulisan Mushhaf Al-Qur'an
  161. Bukti Kebenaran Al-Quran bagian 1
  162. Bukti Kebenaran Al-Quran bagian 2
  163. Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
  164. Periode Turunnya Al-Quran bagian 1
  165. Periode Turunnya Al-Quran bagian 2
  166. Periode Turunnya Al-Quran bagian 3
  167. Dakwah menurut Al-Quran
  168. Tujuan Pokok Al-Quran
  169. Kebenaran Ilmiah Al-Quran
  170. Sistem Penalaran menurut Al-Quran
  171. Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
  172. Perkembangan Tafsir
  173. Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran
  174. Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas? bagian 1
  175. Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas? bagian 2
  176. Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini? bagian 1...
  177. Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini? bagian 2...
  178. Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
  179. Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
  180. Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu bagian 2
  181. Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
  182. Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat bagian 2
  183. Sejarah Perkembangan Tafsir
  184. Kodifikasi Tafsir
  185. Metode Tafsir
  186. Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir
  187. Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran
  188. Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran bagian 1
  189. Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran bagian 2
  190. Perubahan Sosial
  191. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
  192. Bidang Bahasa
  193. Haramnya durhaka kepada kedua orang tua
  194. Syirik Kecil bagian 1
  195. Syirik Kecil bagian 2
  196. HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE bagia 1
  197. HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE bagia 2
  198. Hukum Mengenakan Pakaian Yang Bergambar Dan Menyim...
  199. Perkembangan Metodologi Tafsir
  200. Perkembangan Metodologi Tafsir 2
  201. Perkembangan Metodologi Tafsir 3
  202. Tafsir dan Modernisasi
  203. Tafsir dan Modernisasi 2
  204. Penafsiran Ilmiah Al-Quran
  205. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 2
  206. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 3
  207. Penafsiran Ilmiah Al-Quran 4
  208. Metode Tafsir Tematik
  209. Beberapa Problem Tafsir
  210. Metode Mawdhu'iy
  211. Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
  212. Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
  213. Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi...
  214. Hubungan Hadis dan Al-Quran
  215. Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
  216. Pemahaman atas Makna Hadis
  217. Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir bgn 1
  218. Fungsi dan Posisi Sunah Dalam Tafsir bgn 2
  219. Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
  220. Al-Qur'an dan Alam Raya
  221. Pendapat Para Ulama tentang Penafsiran Ilmiah
  222. Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar Ayatnya
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

By Support